Surat panjang
itu ditulis dengan kepedihan mendalam dengan bekas-bekas tetesan air mata.
Nadir berkata kepada Naya “Jika engkau sudi menjadi
istri Datuk Maringgih, maka selamatlah aku, tak masuk ke dalam penjara. Namun jika kau tak sudi, maka sekalian yang kita miliki itu akan menjadi
miliknya”. Mendengar perkataan ayahku ini, hancur luluh rasa jantungku, lalu
menangislah aku, dan tiada terjawab perkataan ayah sepatah pun karena dadaku
bagai pecah dan leherku bagai terkunci. ……..
Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke
dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku
dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku lalu
berteriak: “Jangan penjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Maringgih
!……………………………………...
Barangkali
tak dapat kaupikirkan Samsu, bagaimana hancur hatiku sekarang ini. Pertama
karena telah mangkir janji kepadamu dan memutuskan pengharapanmu; kedua karena
terpaksa duduk dengan seorang-orang yang sebagai Datuk Maringgih itu, iblis tua
yang sangat kubenci. Tiadalah yang dapat kupandang padanya. Sungguh kaya
rupanya sama dengan hantu
pemburu, bangsanya, ya Allah, asalnya penjual ikan asin, tabiatnya lebih
daripada tabiat binatang, kelakuannya kasar dan bengis.Kepada orang yang
semacam itu aku harus menyerahkan diriku, hidup bersama-sama. Cobalah
kaupikir,Sam …..…………………………………………………………………………………………………… hingga ini dulu
kekasihku. Kelak, jika masih ada hayat dikandung badanku, kusambunglah pula
cerita yang malang ini, asal kau masih sudi melihat bekas tanganku yang akan
melukiskan untungku yang celaka ini. Barangkali juga aku tidak boleh lagi
memanggil engkau kekasihku, tetapi menjadi abangku, barang kali masih suka dan
sambutlah peluk cium dari adikmu yang sengsara ini.”
Satu
bagian dalam buku ini hanya berisi surat Sitti Inaya Wati yang sangat menyedihkan.
Karena kerinduan yang mendalam, Sitti Inayawati nekat menyusul kekasihnya ke
Jakarta.
AKHIR KISAH SALAH ASUHAN
Sepeninggal
Corrie, Hanafi seperti orang gila. Pernah ia tidur di kuburan Corrie sambil
berbicara seorang diri. Kemudian ia
pulang ke Jakarta. Setelah segala hartanya dijual, maka ia memutuskan untuk
pulang ke Padang. Hanafi masih memiliki
3 orang dekat yang berada di kampung halaman, di Solok, yaitu: ibunya, Syafei anaknya, dan mantan isterinya Rafiah. Dalam duka dan putus asa, Hanafi pulang ke kampung halamannya. Demi bertemu dengan Syafei, digendongnya
anaknya itu. Melihat hal itu, Rafiah yang tidak menghiraukan Hanafi menjadi
marah. Direntakkannya Syafei dari tangan Hanafi dan larilah Rafiah menjauhi
Hanafi. Bahkan ibunya berkata bahwa Hanafi belum boleh pulang ke tanah
kelahirannya sebelum mendapat izin dari ninik mamak.
Luka hati orang-orang terdekat dan kaum
keluarganya sudah sangat parah. Kalau dulu, Hanafi hanya merasa ditolak oleh
ninik mamaknya karena melanggar adat Minang, dan ditolak orang kulit putih
karena dipandang rendah martabatnya, kini Hanafi ditolak oleh orang-orang yang
dulunya paling dekat dengan dirinya, paling mengerti pada dirinya, dan yang
dulu paling menghormati dirinya. Tubuhnya bagai
tersepak ke lumpur paling dalam. Karena itu, di rumahnya di Kota
Anau, ia masuk kamar dan meminum pil
sublimat. Bunuh diri. Inilah tindakan terakhir orang yang tidak memiliki adat
dan lembaga, dan merasa tidak diberi harapan oleh Tuhan. Bunuh diri. Betapa
nistanya perbuatan ini. Ibu Hanafi menyadari bahwa anak lelakinya semata wayang
adalah korban “salah asuhan”. Karena
itu, pada akhir cerita dikisahkan bahwa Syafei anak Hanafi, cucu Sang Ibu,
disekolahkan ke Jakarta dan kemudian direncanakan untuk sekolah di Eropa,
dengan berbagai nasihat bahwa ia harus tetap orang Minang, orang Indonesia,
orang Timur, dan jangan sampai menjadi sepuhan Barat. Roman Salah Asuhan merupakan kritik kepada
masyarakat Indonesia pada zaman penjajahan dulu yang sering kali bersikap lupa daratan, kebarat-baratan, bahkan lebih
barat dari orang barat (dalam hal yang
tidak baik). Hal ini mendatangkan malapetaka
seperti yang dialami Hanafi.
BAGIAN DARI NOVEL LAYAR
TERKEMBANG
Surat Tuti kepada Supomo, lelaki
terakhir yang tidak mungkin ada gantinya karena usianya sudah tua (untuk ukuran
waktu itu l.k. 27 tahun).
“ Supomo, terhadap cintamu yang mulia dan suci itu,
yang lahir dari hatimu yang lembut dan penuh kasih sayang, saya tiada dapat
memberikan cinta yang setara dengan itu. Hatiku
kosong…kosong, maka jika kuterima cintamu itu, penerimaan itu niscaya hanya
mencari pengisi kekosongan saja. Saya
tidak layak mempermain-mainkan cintamu yang mulia itu, Supomo… Saya tidak dapat
memberikan cinta yang kaudambakan itu kepadamu. Supomo, kepadamu kuucapkan
selamat bahagia, pasti nanti akan bersua dengan orang yang dapat membalas
cintamu. Meski bagaimana sedih dan meratap jiwa saya, namun sedikitpun aku
tidak bermaksud mempermain-mainkan kau. Selamat bahagia, aku akan tetap menjadi
saudaramu yang akan senantiasa bersedia membantumu dengan tulus dan ikhlas…”
Maria gelisah karena tubuhnya tidak kuat lagi, dan dirasa bahwa maut akan
menjemputnya, maka dalam suatu kesempatan Yusuf dan Tuti menengoknya, Maria
memberanikan diri untuk berkata :
“Alangkah berbahagia saya rasanya di akhirat nanti, kalau tahu, bahwa
kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya
dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya
tidaklah rela selama-lamanya, kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan
pada orang lain …”
Kata-kata
Maria itu ditolak oleh Tuti. Namun sebenarnya sudah lama dalam hati mereka
berdua bahwa keduanya ada kecocokan dalam berpikir, bercakap-cakap, dan dalam
menghadapi hidup. Ketika mereka berdua pulang ke Jakarta,
mereka tidak berkata-kata tentang hal tersebut. Mereka berpikir
sendiri-sendiri. Yang nyata terjadi adalah bahwa kemudian Maria meninggal dunia
di Pacet, dan kedua insan yang mencintainya – Yusuf dan Tuti – yang sudah
disatukan oleh cinta mereka kepada Maria kemudian bertunangan. Perkawinan kedua
insan itu kemudiannya, bukan untuk bersenang-senang… “dunia kita adalah
kerja, Yusuf…”. Pada hakikatnya dalam roman ini, pelaku utama terpenting adalah
Yusuf dan Tuti, dua pemuda yang memenuhi harapan dan cita-cita pengarangnya –
Sutan Takdir Alisyahbana – untuk mengisi pembangunan bagi Indonesia Baru.
Merekalah yang membentangkan layar sehingga terkembang .
BAGIAN PENTING KONFLIK SUMARTINI >< ROKHAYAH DLM BELENGGU
Dialog
berikut sangat menarik dalam roman Belenggu ini.
Tini
memandang Rokhayah dengan sikap merendahkan, lalu memandang ke papan nama.
Rokhayah mengikuti pandangan Tini, lalu
tersenyum simpul . “Itu nama saya ,
nyonya. Bukankah nama dapat diganti-ganti. “Tini tertarik hatinya.
Pantas Tono tertarik. Tidak benar ia penyanyi kroncong. Tingkah lakunya tertib.
Rokhayah naik tangga. Tini menuruti ajakan Rokhayah untuk duduk. “Nyonya
Dokter ?”
“Aku? Akulah isteri
Dokter Sukartono !” Rokhayah terkejut.
Tetapi hanya sekejap saja, kemudian tersenyum. “Saya senang
berkenalan dengan nyonya. Saya sudah lama merasa, kita mesti juga akan
berkenalan !” Dengan sinis Tini menjawab: “Berkenalan ? Aku datang bukan
untuk berkenalan. Mana mungkin perempuan baik-baik suka berkenalan dengan
perempuan seperti engkau!”.
“Katakanlah nyonya dengan terus terang. Dalam kalangan
perempuan baik-baik kata itu buruk terdengar, tetapi telinga kami, nyonya sudah
biasa mendengarnya. Katakanlah dengan terus terang saya ini perempuan jalang.
Kalau hendak membungkusnya juga dengan kain sutera, katakanlah aku sebagai:
bunga raya!”
“Engkau…..!” Yah marah “Teruslah ber-engkau-engkau, nyonya !
Memang saya lebih rendah dari nyonya. Nyonya adalah nyonya Dokter, boleh naik
mobil sendiri, berumah bagus, hidup senang. Katakanlah apa saja
kehendak Nyonya !”
Tini hati-hati “Siapa sebenarnya kamu ?” Yah
dengan terkendali “Seperti tertulis di papan nama…Saya Siti Rokhayah.Dulu
Tono, eh, Dokter Sukartono, suami saya, tetangga saya di Bandung. Waktu itu
kami sekolah rendah, selisih tiga kelas.Baru-baru ini kami bertemu lagi,
kebetulan saja. Jangan marah.Dia tidak akan terpikat jaringku kalau nyonya baik
!”
“Memang kau lebih pandai, sudah biasa menangkap
sembarang laki-laki !”
“Katakanlah sebarang kata. Keadaan tidak akan
berubah. Dia memang suami nyonya. Tetapi kasihnya tersangkut pada
saya. Nyonya boneka yang tidak berdaya. Memakai permata, tetapi tidak tahu
menghargainya…”
“Engkau hendak memberi nasihat ? Engkau perempuan jal……!”
“Kata-kata nyonya
membuat kuping merah.Ingatkah nyonya ketika masih sekolah, ada seorang
Mahasiswa Teknik membawa nyonya ke tempat pelesiran ?”
“Dari
mana kau tahu ? Tono yang memberi tahu ?”
“Bukan…Sopir itulah yang memberi tahu.
Dan juga seorang perempuan tua !”
“Sudahlah !” Tini nampak sangat terpukul karena itu dosa masa muda.
“Maafkan saya, nyonya. Saya tidak akan
menyinggung hal itu kalau nyonya tidak menghina saya. Kalau engkau memelihara
Tono baik-baik, kau turut kemauannya, kesukaannya yang kecil-kecil, dia tidak
akan datang kepadaku !”
“Boleh
jadi !” Kata Tini penuh keraguan.
Setelah peristiwa itu, Tini
merasa salah. Karena itu, Tini menyerahkan Tono kepada Rokhayah. Rokhayah tidak
mau menerima karena ia tidak mau berbahagia di atas penderitaan orang lain.
Begitu juga Dokter Sukartono. Ia tidak mau menyakiti hati kedua orang yang
pernah dicintai itu. Pada akhirnya ketiga orang itu saling berpisah untuk
menghilangkan belenggu egoisme mereka. Dokter Sukartono memperdalam ilmu
kedokteran, Sumartini pergi ke Surabaya, sedangkan Rokhayah pergi ke New
Kaledonia. Akhir cerita ini
menunjukkan penyelesaian yang banyak menimbulkan kontradiksi. Cinta segi tiga
belum tentu selesai oleh perpisahan di antara mereka. Mungkin justru kompromi
adalah penyelesaian terbaik, sebab cinta
tidak dapat dihalangi oleh perbedaan kota tempat tinggal. Jika cinta masih ada, Rokhayah dan Sukartono pasti masih berjumpa juga.